Sabtu, 10 Desember 2011

Dalam Pelukan Hujan - Part 1




Waktu itu aku disuruh Ibuku untuk mengantar makanan ke kontrakan Kakakku yang tinggal di RT seberang. Matahari mungkin memang akan pergi meninggalkan pagi serta siang tadi. Langit mendung. Awan gelap menyelimuti bayanganku yang sedang berjalan berdua ditemani oleh benda yang tidak lain digunakan untuk alat komunikasi, HP. HP yaitu singkatan dari kata Hand Phone, Telepon Genggam, atau orang dulu mengatakannya dengan sebutan ponsel, Telepon Seluler. Di mana sekarang banyak dari anak muda, bahkan anak yang memang belum pantas memilikinya sudah merengek-rengek minta dibelikan benda tersebut oleh orang tuanya.

Langkah aku percepat dikarenakan kegelepan kian melekat. Tak lama setelah sampai di tempat itu, aku segera menaiki tangga untuk sampai ke kontrakan Kakak. Entah berapa anak tangga yang aku naiki hingga kini aku pun sudah berada tepat di depan pintu kontrakan.

"Assalamu'alaikum. Mas ada berkat nih dari Mamak," sembari mengetuk pintu.

"Masuk aja, gak dikunci,"

"Nih ada berkat dari Mamak. Katanya sih buat Wita,"

"Taruh aja di atas lemari. Oh iya, gue mau jemput Istri gue dulu. Titip Wita sama Tian ya?",

"Nih orang gak pernah mikirin perasaan orang lain apa ya?" ketusku dalam hati. "Iya, gue jagain." jawabku.

Kini hanya tersisa aku dan dua orang anak yang masih berumur tidak kurang dari 5 tahun. Tidak lain dan tidak bukan adalah keponakanku sendiri. Wita dan Tian. Wita ini anaknya kurang tanggap, padahal usianya jalan 5 tahun. Mungkin karena dulu sering keluar masuk Rumah Sakit dan dicekoki obat, sehingga pertumbuhannya pun tidak maksimal. Sama seperti adiknya, Tian namanya. Ia sempat beberapa kali kejang. Entah itu karena faktor cuaca, atau karena faktor yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata.

Aku harus menjaga keponakan-keponakanku ini. Ditemani lagu-lagu dari MP3 Player yang ada di handphone, gue sedikit lebih nyaman. Belakangan ini mereka diasuh oleh tetangga kontrakan. Karena Kakak Ipar atau Istri dari Kakakku ini dipanggil kembali oleh kerjaannya yang dulu. Pabriknya di Cikarang. Lumayan repot juga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Apapun yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang, ia kerjakan. Dan aku, tak tahu menahu dengan cara apa ia bekerja. Halal atau haram?

Lagu yang aku setel mendadak berhenti, menandakan ada SMS yang masuk. Aku buka SMS yang berisi tentang pernyataan bahwa akun twitter bersama yang dijalankan oleh adik angkatku, Nanda dan lainnya, diambil alih oleh orang lain. Dan pemikiranku pun tertuju pada seseorang yang juga sebagai admin di akun tersebut.

"Kak, seberapa jauh sih lu kenal sama Didit?" pesan dari Nanda.

"Gue cuma kenal di twitter kok. Emangnya kenapa, dek?"

"Kayaknya dulu lo sering ngobrol sama dia deh?"

"Iya lumayan. Tapi akhir-akhir ini juga dia kayaknya lagi sibuk,"

"Akun TAM dihack, kak!" lirih Nanda.

"Loh, kok bisa? Hmm, gak heran juga sih lagi 1 akun dipake 7 orang wkwkwk,"

"Yah, terus gimana kak?"

"Ikhlasin aja." semudah itu aku berkata tanpa mengerti perasaannya.

Hujan pun turun dengan derasnya. Membuat waktu kini semakin sangat terasa. Membasahi tanah di setiap jalan sepanjang mata memandang. Tian dan Wita sedang diajak main oleh tetangga kontrakan. Sehingga aku bisa menikmati hujan turun di pagar pembatas pinggir kontrakan yang berlantai 2 itu. Nikmat sekali saat-saat seperti ini. Harum tanah bisa aku hirup walaupun dari ketinggian dari tempat aku berdiri.

Nanda terlihat panik juga sedih. Ada satu orang lagi yang ingin bertanya padaku soal sejauh mana aku mengenal sosok Didit. Rizki Kusuma Wardhanie, atau yang lebih akrab disapa Kiki. Dia juga bertanya tentang kedekatanku dengan admin yang satu itu. Sedikit agak risih, tapi aku hanya bisa memberinya masukan-masukan untuk tidak gegabah dulu sebelum mengambil keputusan. Ini awal aku bertemu dengannya. Meski hanya lewat untaian kata, aku malah semakin penasaran terhadap dirinya.

"Kamu suka hujan gak?" tanyaku pada Kiki.

"Gak. Abis aku punya pengalaman yang pahit Kak tentang hujan,"

"Emangnya kenapa?"

"Karena aku ditinggal seseorang waktu turun hujan juga,"

"Entah kenapa aku sangat suka menikmati kala hujan turun. Seakan setiap tetesannya memiliki kehidupan tersendiri. Aku mengibaratkan hujan itu seperti masalah. Kadang datangnya rintik-rintik dan sedikit. Kadang juga datangnya sekaligus banyak. Dan aku percaya, kalau setelah hujan itu pasti akan ada terang. Begitu juga dengan masalah, pasti akan ada solusinya,"

"Oh, gitu ya kak?"

"Iya, kira-kira begitulah adanya. Hahaha.."

Perlahan deraian air hujan ini mulai melemah. Tak lagi kuat seperti saat tadi ia dengan gagahnya menduduki terang menjelang senja berganti. Pandanganku teralihkan. Tak lagi memandangi rintik hujan ini. Teralihkan oleh benda di saku celanaku. "Sial, pake lowbat!" gumamku di dalam hati.


Bersambung.....